Syariat Islam Mengenai "Ilmu Tenaga Dalam"
Tenaga dalam merupakan salah satu bentuk 'khawariqul 'adah' (kemampuan luar biasa), adakalanya kemampuan ini berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yang dianugrahkan kepada wali-wali-Nya. Dan ada kalanya berasal dari syaiton yang kemudian sering dianggap sebagai anugrah ilahi, sebagaimana yang diperlihatkan oleh wali-wali syaiton tersebut.
Menurut para ulama, diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahulloh, antara kedua 'khawariqul 'adah' (kemampuan luar biasa) dapat dibedakan dengan dua tinjauan.
Yang Pertama adalah melalui keadaan orang yang mendapatkannya. Apabila orang yang mendapatkannya adalah orang yang bertakwa, dari kalangan ahli tauhid, memiliki Ilmu dalam Syariat Islam yang shohih, ikhlas dalam beribadah, tidak mengamalkan amalan-amalan bid'ah yaitu amalan ibadah yang tidak mencontoh tuntunan Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan termasuk pelaku maksiat, maka apabila ia mendapatkan 'khawariqul 'adah' berarti itu merupakan anugrah Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya apabila yang mendapatkannya bukan dari kalangan ahli tauhid, seperti halnya orang-orang yang suka melakukan perbuatan syirik, misalnya memohon berkah melalui kuburan orang-orang yang dikeramatkan, mengadakan acara 'haul' (merayakan hari ulang tahun kematian) dan lainnya, maka yang diperolehnya adalah 'khawariqul 'adah' (kemampuan luar biasa) yang berasal dari Syaithan.
Begitu juga apabila yang memperoleh adalah yang suka melakukan perbuatan bid'ah, misalnya membaca dzikir-dzikir yang tidak disyari'atkan. Seperti dengan membatasi jumlah-jumlah, bentuk-bentuk, suara-suara, atau cara-cara tertentu yang tidak ada contohnya dalam syari'at. Atau orang yang suka berbuat maksiat. Misalnya tidak menjaga batas-batas pergaulan antara pria dan wanita, tidak memelihara jenggot, meminum yang memabukkan, memakan harta riba, merokok, tidak menutup aurat dan lain-lain. Apabila demikian keadaan orangnya, maka 'khawariqul 'adah yang diperoleh adalah berasal dari Syaithan.
Yang Kedua adalah melalui sebab diperolehnya 'khawariqul 'adah'. Khawariqul 'adah yang berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala hanya bisa diperoleh dengan ketaatan, keimanan dan ketakwaan. Selain itu Islam tidak mengajarkan seorang muslim untuk beribadah untuk tujuan mendapatkan 'khawariqul 'adah' (kemampuan luar biasa).
Justru itulah yang membedakan antara yang berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan yang berasal dari Syaithan. Yaitu bahwa 'khawariqul 'adah' yang berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak bisa dipelajari apalagi dibakukan menjadi semacam 'ilmu kedigdayaan', sedangkan yang berasal dari Syaithan bisa dipelajari dan bisa dibakukan menjadi suatu ilmu. Sekalipun secara zhahir dilakukan dengan membaca ayat atau dzikir. Sebagaimana difirmankan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: "Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara suami dan istrinya" (QS: Al-Baqarah: 102)
Ayat ini menunjukkan, bahwa 'khawariqul 'adah' yang dapat dipelajari adalah sihir (berasal dari Syaithan), sedangkan yang berasal dari anugrah Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidaklah dapat dipelajari sebagaimana sihir.
(Sumber Rujukan: Fathul Bari X/223, Ibnu Hajar Al-Asqalani; Al-Furqan Baina Auliya'ir Rahman wa Auliya'isy Syaithan)
Menurut para ulama, diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahulloh, antara kedua 'khawariqul 'adah' (kemampuan luar biasa) dapat dibedakan dengan dua tinjauan.
Yang Pertama adalah melalui keadaan orang yang mendapatkannya. Apabila orang yang mendapatkannya adalah orang yang bertakwa, dari kalangan ahli tauhid, memiliki Ilmu dalam Syariat Islam yang shohih, ikhlas dalam beribadah, tidak mengamalkan amalan-amalan bid'ah yaitu amalan ibadah yang tidak mencontoh tuntunan Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan termasuk pelaku maksiat, maka apabila ia mendapatkan 'khawariqul 'adah' berarti itu merupakan anugrah Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya apabila yang mendapatkannya bukan dari kalangan ahli tauhid, seperti halnya orang-orang yang suka melakukan perbuatan syirik, misalnya memohon berkah melalui kuburan orang-orang yang dikeramatkan, mengadakan acara 'haul' (merayakan hari ulang tahun kematian) dan lainnya, maka yang diperolehnya adalah 'khawariqul 'adah' (kemampuan luar biasa) yang berasal dari Syaithan.
Begitu juga apabila yang memperoleh adalah yang suka melakukan perbuatan bid'ah, misalnya membaca dzikir-dzikir yang tidak disyari'atkan. Seperti dengan membatasi jumlah-jumlah, bentuk-bentuk, suara-suara, atau cara-cara tertentu yang tidak ada contohnya dalam syari'at. Atau orang yang suka berbuat maksiat. Misalnya tidak menjaga batas-batas pergaulan antara pria dan wanita, tidak memelihara jenggot, meminum yang memabukkan, memakan harta riba, merokok, tidak menutup aurat dan lain-lain. Apabila demikian keadaan orangnya, maka 'khawariqul 'adah yang diperoleh adalah berasal dari Syaithan.
Yang Kedua adalah melalui sebab diperolehnya 'khawariqul 'adah'. Khawariqul 'adah yang berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala hanya bisa diperoleh dengan ketaatan, keimanan dan ketakwaan. Selain itu Islam tidak mengajarkan seorang muslim untuk beribadah untuk tujuan mendapatkan 'khawariqul 'adah' (kemampuan luar biasa).
Justru itulah yang membedakan antara yang berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan yang berasal dari Syaithan. Yaitu bahwa 'khawariqul 'adah' yang berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak bisa dipelajari apalagi dibakukan menjadi semacam 'ilmu kedigdayaan', sedangkan yang berasal dari Syaithan bisa dipelajari dan bisa dibakukan menjadi suatu ilmu. Sekalipun secara zhahir dilakukan dengan membaca ayat atau dzikir. Sebagaimana difirmankan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: "Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara suami dan istrinya" (QS: Al-Baqarah: 102)
Ayat ini menunjukkan, bahwa 'khawariqul 'adah' yang dapat dipelajari adalah sihir (berasal dari Syaithan), sedangkan yang berasal dari anugrah Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidaklah dapat dipelajari sebagaimana sihir.
(Sumber Rujukan: Fathul Bari X/223, Ibnu Hajar Al-Asqalani; Al-Furqan Baina Auliya'ir Rahman wa Auliya'isy Syaithan)
No comments:
Post a Comment